Sejarah

الطلبة ورثة العلماء والعلماء ورثة الأنبياء

” Santri adalah pewaris para ulama’ sedangkan ulama’ pewaris para nabi “

          Pondok Pesantren Darussalam- berdiri sejak tahun 1908 M, bermula sebuah majelis dzikir dan thoriqoh yang didirikan oleh beliau KH. Abdul Qodir bin KH. Muhammad Ali. Berada dikawasan strategis, tepatnya di Jalan Wahid Hasyim  NO. 120 Saripan Jepara. Pada waktu itu majelis ini belum diberi nama, hanya masyarakat sering menyebutnya dengan pondok mbah abdul qodir“. Pada awalnya santri beliau masih sedikit, sekitar sepuluh orang. Lambat laun santri mulai bertambah semakin banyak. 

Sepeninggal beliau  KH. Abdul Qodir pada tahun 1954 M, pondok pesantren diamanatkan kepada putra beliau yang bernama KH. Aqib Tanbih. Kemudian pada tahun 1973 mbah Aqib (sapaan akrab beliau), memproklamirkan nama pondok pesantrennya dengan nama darussalam abdul qodir yang dengan berjalannya waktu terkenal dengan sebutan darussalam saja.

Pada tahun tersebut juga beliau mengesahkan logo pondok pesantren Darussalam yang dibuat oleh santri beliau yaitu Kyai Abdul Mujib (Pekalongan, Batealit, Jepara) dan Kyai Badhiddin (Pujut, Tersono, Batang).

Dibawah asuhan beliau KH. Aqib Tanbih, sistem pembelajaran yang digunakan adalah metode salaf, yang mengkaji dari kitab-kitab kuning, pendidikan moral, kanuragan, spiritual, serta diwajibkannya sholat lima waktu berjamaah pada santrinya.

Pada tahun 1974, santri sekitar 70 dan terus bertambah sehingga tempat untuk santri-santri pun harus ditambah, sehingga pada tahun 1980 M. KH. Aqib Tanbih mulai merintis pembangunan pondok timur dan ruang perpustakaan yang selesai pada tahun 1983 M. 

Dan setelah mengasuh selama 34 tahun, KH. Aqib Tanbih wafat, tepatnya pada Selasa Pon tanggal 8 Rajab 1409 H / 1988 M, sehingga kepengasuhan pesantren harus digantikan putra beliau yaitu  Al-Magfurlah KH. Ahmad Muhammad  Abu Nawas Al-Aswad yang biasa disapa dengan mbah Abu Nawas Aqib yang waktu itu masih remaja berumur 18 tahun, tetapi karismatik beliau sudah terlihat jelas, sehingga masyarakat pun menaruh hormat kepada beliau. 

Dibawah asuhan beliau KH. Abu Nawas Aqib, pesantren semakin berkembang pesat dalam kwantitas maupun kualitasnya, untuk menambahkan kualitas yang kala itu santri mencapai 700 santri, dengan cara menambah ruangan untuk mengaji, yaitu Qo’ah Ali, Kantor Tarbiyyah, dan Kantor Timur, yang selesai pada tahun 1989 M. Dan sistem pendidikan yang diterapkan beliau adalah pendidikan intelektual yang lebih mengacu pada kecerdasan, ketangkasan serta kedisiplinan untuk membentuk karakter yang berimtek dan beriptek serta berguna bagi nusa bangsa dan masyarakat, yaitu dengan menambahkan jadwal pembelajaran dari pagi hingga tengah malam serta menggabungkan 3 metode pengajaran yaitu Ploso, Tegalrejo, dan Lirboyo dan juga diwajiban sholat  berjamaah serta berbahasa arab dalam percakapan setiap harinya. ( yang juga menjadi mahar sampai saat ini ).

Setelah beliau mengasuh selama 20 tahun, beliau pun berpulang untuk menghadap Kerahmatullah. Yaitu pada liburan nisfu sanah, tepatnya pada tanggal 8 Rabi’ul Awal 1429 H / 16 Maret 2008 M. Estafet kepengasuhan pondok pesantren harus mengalami pergantian kembali yaitu putra KH. Aqib Tanbih dengan Ibu Nyai Hj. Masrianah yaitu  oleh adik beliau KH. Abdullah Sattho Aqib, tetapi beliau KH. Sattho (sapaan beliau) tak dapat mengasuh lama kurang lebih sekitar 2 tahun saja. Setelah kepergian sang kakak berselang beliau pun menghadap ke rahmatullah bersama sang kakak, bertepatan pada tanggal 16 Rabi’ul Akhir 1431 H atau 1 april 2010 M. Dan di makamkan pada satu kompleks pesarean bersama sang kakak dan bapak beliau yaitu di Pemakaman Gandrung Potroyudan.

Sepeninggalan beliau kepengurusan pondok pesantren di percayakan pada adik beliau yang bernama kyai Syaifurrijal Aqib dan metode kependidikan masih menganut dan meneruskan metode dari sang kakak dan sang ayah di tambah pembacaan Al Qur’an yang di wajibkan bagi para musyawirin dan di pimpin langsung oleh beliau Kyai Syaifurijjal Aqib, menambah program-program unggulan yang dibutuhkan santri di Era digitalisasi serta menumbuhkan rasa cinta tanah air sebagai bekal menjadi pemimpin masyarakat yang religius dan nasionalis. Juga terdapat perenovasian bangunan-bangunan lama, sehingga membuat proses belajar mengajar itu lebih nyaman sampai pada saat ini.